Jogja, selalu di hati sampai mati.

     Memiliki Bapak dan Ibu yang berasal dari Jawa, membuat saya penasaran dengan Pulau Jawa. Katanya, di Jawa itu murah-murah, masih kental dengan budayanya dan orang-orangnya ramah dan sopan. Saya merasa tertarik ingin membuktikannya..

Selama 18 tahun lahir dan besar di tanah Kalimantan, rasa jenuh dalam menjalani kehidupan menyelimuti hati dan pikiran saya. Ternyata, Tuhan mewujudkan mimpi saya untuk mengunjungi kota yang dari dulu saya idam-idamkan. Berbekal tekad yang kuat, saya berhasil menginjakkan kaki di Jogja.


Sabtu, 03 Oktober 2015 adalah kali pertama saya ke Jogja seorang diri. Perjalanan darat berkilo-kilo meter dengan waktu kurang lebih 6 jam dan kondisi jalan bagaikan roller coaster yang ditempuh dari Kota Bontang Kalimantan Timur menuju Kota Balikpapan sangat menguras tenaga saya. Maklum saja, Kota Bontang hanya memiliki bandara bagi karyawan perusahaan besar yang berada di Bontang seperti PT. Pupuk Kaltim dan PT. Badak NGL sehingga masyarakat umum seperti saya tidak bisa bepergian menggunakan pesawat di bandara tersebut.

Ketika pertama kali turun dari pesawat di Bandara Adi Sutjipto Jogja, saya terharu. Melihat kesederhanaan bangunannya, keindahan gambar Candi Borobudur di dinding, beberapa wayang kulit dan kereta jaman dahulu yang terletak di terminal A membuat saya terkagum-kagum. Sayangnya waktu itu saya tidak sempat berfoto karena rasa penasaran saya yang terlalu tinggi ingin segera keluar dari bandara melihat-lihat keindahan Jogja yang dahulu hanya bisa saya lihat dari televisi.

Saya semakin takjub ketika melihat rel kereta api di depan gerbang masuk/keluar bandara. Di Bontang tidak ada rel kereta api, wajar saja jika saya agak ndeso.
Sepupu saya yang bernama Mas Arif mengantarkan saya ke rumah Pakdhe yang berada di Jalan Palagan Km. 10 Sleman. Melewati Ambarrukmo Plaza yang dulu saya hanya bisa melihat dari postingan media sosialnya teman-teman, melewati Tugu Jogja yang berdiri kokoh di perempatan jalan, melewati pemandangan yang menyegarkan mata, rasa lelah saya tak ada apa-apanya!

Setelah beristirahat dan belajar untuk menghadapi tes sekolah kedinasan, esoknya saya diajak Budhe, Pakdhe dan sepupu saya mengunjungi tempat tes yang berada di Jalan Magelang dan dilanjutkan makan siang di Jejamuran. Menikmati sate jamurnya dan semua makanan yang berasal dari jamur membuat selera nafsu makan memuncak. Ah.. baru beberapa hari di Jogja sudah bisa membuat saya bahagia.



7 Oktober 2015 adalah Hari Jadi Yogyakarta. Teman semasa SMK yang berkuliah di Jogja mengajak untuk berjalan-jalan ke daerah Malioboro dan melihat karnaval secara dekat dari Tugu Jogja. Momen langka yang belum tentu setiap tahun bisa saya nikmati, saya abadikan ke dalam sebuah foto..







18 tahun tidak pernah pulang kampung, saya memberanikan diri untuk bepergian ke Solo seorang diri menggunakan kereta api Prameks (Prambanan Ekspress) dari Stasiun Tugu demi mengunjungi keluarga besar Bapak. Sesampainya saya di Stasiun Purwosari, saya berkenalan dengan Mbak Hani yang telah berbaik hati meminjamkan handphonenya untuk menghubungi teman saya dikarenakan handphone saya mati total.
Pertemuan dengan Eyang kakung dan Eyang uti yang menyayangi saya secara tidak sadar membuat air mata menetes. Bagaimana tidak, 18 tahun bukan waktu yang singkat. Rasa rindu dan haru berkumpul menjadi satu..

Perbedaan pendapat pun datang menghampiri, keluarga besar di Solo menyarankan saya agar menetap disana, akan tetapi Jogja telah mencuri hati saya. Saya bersikeras untuk kembali ke Jogja.

Hari demi hari saya lewati, kegagalan saat tes sekolah kedinasan membuat saya sedikit cemas. Jauh-jauh ke Jawa, mengecewakan orang tua. Saya berniat untuk bekerja di Jogja. Melamar pekerjaan kesana kemari yang selalu gagal di tahap interview dikarenakan saya pendatang yang tidak memiliki kendaraan sempat membuat saya putus asa. Saya selalu membujuk orang tua agar sepeda motor kesayangan saya bisa dikirimkan ke Jogja tetapi orang tua tak mengizinkan.

Perjuangan saya tidak sia-sia, saya diterima bekerja di salah satu butik yang berada di Babarsari. Saya pikir, saya bisa lega.. Ternyata tidak! Masalah selanjutnya berdatangan: tidak memiliki kendaraan untuk bekerja dan jauhnya rumah sepupu ke tempat kerja membuat saya kebingungan.

Siang terik di hari Jumat, saya ingat sekali saat itu saya berjalan kaki menelusuri jalanan Babarsari-Seturan-Kledokan sendirian demi mencari kost agar saya bisa bekerja tanpa merepoti orang lain. Syukurnya, saya mendapatkan kost yang bersih dan teman kost yang baik-baik.

Teman kost saya ada 5 orang, Alm. Mbak Dewo, Mbak Laras, Mbak Ayu, Mbak Wuri dan Mbak Priscila. Mereka berasal dari berbagai macam daerah dan terlihat sangat ramah ketika berkenalan dengan saya.

Menikmati hari dengan bekerja, mencuci pakaian, mengatur keuangan agar bisa bertahan hidup dan menjaga diri baik-baik saya lakukan dengan ikhlas.
Biasanya, makanan berlimpah di meja makan rumah, ada keluarga dan kendaraan pribadi. Di Jogja, saya benar-benar hidup mandiri. Tidak diberikan kiriman uang dari orang tua membuat saya pusing tujuh keliling, bagaimana bisa saya hidup di Jogja dengan pendapatan tiap bulan hanya Rp. 800.000?

Kost saya Rp. 350.000 tiap bulannya, kuota internet Rp. 100.000, perlengkapan mandi dan makan minum adalah sisanya.

Oleh karena itu, saya menghemat dengan memakan selembar roti tawar setiap pagi saat mencuci pakaian dan berangkat kerja pada jam 3 siang sampai jam 10 malam. Menjelang maghrib, saya membeli nasi bungkus seharga Rp. 5000 saja di samping butik. Sederhana tapi nikmat..



Saat Bulan September, saya berduka. Eyang kakung dan Eyang uti meninggal dunia. Saya menyesal karena belum sempat memberikan sebagian dari gaji saya kepada mereka. Saya menangis tersedu-sedu karena disaat tersedih saya, tidak ada keluarga bahkan teman dekat saya.

But, life must go on..

Seringkali saya menghibur diri dengan menonton acara musik favorit saya di Ambarrukmo Plaza dan Jogja Expo Center, Gamal Audrey Cantika (GAC) dan RAN sudah berhasil menyenangkan hati yang gundah gulana ini.

Menikmati malam berdua menonton Hotel Transylvania 2 di Empire XXI dilanjutkan nongkrong di Angkringan dekat Stasiun Tugu bersama Aan (teman laki-laki yang berasal dari Kota Bontang juga) seraya mencoba minuman “kopi joss” yang terkenal dengan arangnya.

ih itu apa An?”

“arang dek.. unik kan? Jogja memang unik dek, bakal kangen deh” jawabnya.

Di setiap weekend, saya bersama Mbak Laras selalu menyempatkan berwisata. Taman sari menjadi tempat pertama kunjungan kami. Mengelilingi bangunan bersejarah yang masih kokoh, memuaskan diri untuk berfoto di setiap sudutnya. Rencana kami mau melanjutkan ke Candi Prambanan, tapi tubuh sudah kelelahan.






Saya pikir, saya akan menetap di Jogja untuk selamanya tetapi takdir berkata lain, orang tua saya mengkhawatirkan keadaan dan menyuruh saya pulang ke Bontang. Saya menangis, sudah terlalu nyaman dengan Jogja, disuruh kembali pulang. Saya harus bagaimana Ya Tuhan?

Orang tua butuh kamu dek, gak papa pulang dulu. Nanti bisa ke Jogja lagi kan? Pintu kamar kostku terbuka lebar kok buat kamu” kata Mbak Laras.

Tapi Jogja sudah buat nyaman Mbak. Aku gak mau pulang, aku sudah terbiasa hidup mandiri disini”  sahutku.

Dan.. inilah hidup.

Seringkali kita dihadapkan oleh pilihan-pilihan yang membingungkan. Mundur tak bisa, maju harus memilih.

Demi menuruti orang tua, saya mengajukan resign dari pekerjaan dan mencari waktu yang tepat untuk pulang.

Hmm.. awal tahun aku pulang..

Mengisi kekosongan hari, saya mengunjungi tempat wisata seperti Taman Buah dan Hutan Pinus Mangunan bersama Mbak Hani.







Esoknya saya mengunjungi Candi Prambanan dan Candi Borobudur bersama Mas Arif dan Mbak Ayu.







Mendekati hari pergantian tahun, Mas Arif mengajak saya untuk nge-camp di Pantai yang berada di Gunung Kidul. Pantai di Gunung Kidul sangat-sangat indah! Rasanya ingin menginap disana lebih lama lagi..



Akhirnya, waktu yang ditunggu telah tiba. Saya kembali ke Bontang dan melanjutkan kisah hidup saya. Meninggalkan kenangan indah yang telah hidup di dunia saya selama di Jogja.

Jogja, satu kata penuh makna..

Jogja, sekali berkunjung membawa bahagia..

Jogja, selalu menjadi wishlist saya setiap tahunnya agar bisa kembali kesana..

Keanekaragaman suku budayanya membuat daya tarik bagi siapapun yang melihatnya. Kesederhanaannya, keramahannya, kerapiannya menjadikan panutan bagi daerah-daerah lainnya yang berada di Indonesia.

Menurut saya menjadi Jogja, menjadi Indonesia tak hanya untuk masyarakat yang berasal dari Jogja saja. Siapapun kita semua, dari manapun kita semua, dengan menjaga tempat-tempat bersejarahnya, menjaga kebersihan lingkungannya, menaati hal-hal yang berada di Jogja, menghargai kepada sesama, serta mendukung Jogja dalam hal positif apapun telah menjadikan kita ‘Jogja dan Indonesia’ yang sesungguhnya.

Saya mencintai Jogja lebih dari yang mereka tahu, Jogja terlalu istimewa di hati saya.

Tetaplah menjadi Jogja yang kami kenal, jangan merusak Jogja yang telah diperjuangkan mati-matian oleh orang-orang terdahulu.

Saya bangga menjadi rakyat Indonesia, saya bangga dengan Jogja!





Bontang, 28 Agustus 2017.
Salam hangat,


Fauziyah Rahmawati.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

4cm